Quarter Life Crisis Hit Me Hard dan Caraku Melewatinya

Quarter life crisis, depresi

Tahun lalu, aku merayakan ulang tahunku yang ke dua lima dengan optimisme luar biasa. Aku berkali-kali meyakinkan diriku bahwa, tahun ini akan jadi the best year-nya aku. Bahwa tahun ini aku akan mulai memberanikan diri untuk keluar dari cangkang yang membuatku takut melangkah dan mulai melakukan hal-hal yang dulu aku takut banget buat coba. Tahun lalu, aku janji sama diri sendiri untuk lebih menyayangi diriku sebelum orang lain.

Aku ingat banget waktu itu, aku sudah merencanakan semuanya. Aku buat appointment perawatan diri biar aku gak insecure lagi sama jerawatku, aku declutter isi lemari dan mendekor ulang kamarku, aku mulai kembali membangun blogku, merencanakan buku-buku yang akan aku baca di tahun itu, serta merencanakan karir yang lebih menjanjikan. Di usia ini, aku akan lebih mencintai diriku dan berusaha keras untuk memanifestasi kehidupan yang selama ini aku inginkan.

Well, pada akhirnya kita semua cuma manusia yang bisa berencana. Tetap Tuhan yang menentukan.

Siapa sangka segala hal yang aku rencanakan di usia dua lima luluh lantak begitu saja. Banyak kejadian yang entah kenapa menjadi trigger trauma masa kecil yang aku sendiri gak sadar aku punya trauma itu. Aku gagal di semua lamaran kerja, dipermalukan saat interview, diremehkan dalam pekerjaan, dan yang lebih menyakitkan adalah ketika seseorang yang ku harapkan untuk jadi teman hidup ternyata dikirim Tuhan hanya sebagai pelajaran hidup. lol

Aku masih ingat sekali waktu itu, untuk pertama kalinya aku menangis di depan orang lain. Merengek seperti anak kecil di pinggir jalan mengadukan betapa hancurnya mentalku setelah merasa diremehkan, dipermalukan, ditolak, dimanfaatkan, dan dikhianati secara bersamaan.

Aku tidak menyalahkan siapapun saat itu. It wasn’t a big problem for somebody else maybe. Tapi kapasitas mentalku waktu itu rasanya tidak cukup kuat untuk menampung semua emosi negatif dari hal-hal terjadi saat itu.

Aku menghabiskan bermalam-malam untuk menangis, overthinking-ku jadi makin parah, asam lambungku naik, dan aku kehilangan selera makan. Aku ingat beberapa bulan sebelumnya aku berdoa ingin kurus, dan benar saja aku langsung kehilangan 3 kilo dalam dua minggu karena kehilangan nafsu makanku. 

Dititik itu aku sadar bahwa depresi bisa jadi semengerikan itu. Perasaan seperti kamu tidak terluka tapi sekujur tubuh rasanya sakit. Aku merasa energiku terkuras bahkan ketika aku tidak melakukan apa-apa. Aku bahkan tidak punya energi untuk bangkit dari tempat tidur dan mengurus tubuhku sendiri. Aku ingat sekali waktu itu aku berkali-kali menyeret kakiku ke salon hanya untuk creambath karena aku tidak punya cukup energi untuk keramas. Temanku bahkan sampai takut aku akan mengakhiri hidup karena tidak kuat menahan semuanya. Tapi untungnya aku lebih takut mati jadi hal itu tidak terpikirkan sama sekali.

Alhamdulillah semuanya terlewati. Tidak mudah. Tapi sudah lewat. Sayang sekali aku tidak merekam semuanya. Kalau saja kurekam kan udah jadi satu vlog dengan judul “How I survive my depresive episode” lol.

Saat kamu membaca ini mungkin kamu juga sedang berada di fase krisis pertengahan usia dua puluhan. Semoga saja beberapa cara-ku untuk keluar dari depresiku juga bisa bermanfaat buatmu.

Berikut beberapa cara yang aku lakukan untuk bisa survive di tengah quarter life crisis.

1. Olahraga

Aku ingat hari itu hari jumat, pulang kerja. Badanku lelah dan pikiranku kacau. Kalau hanya duduk dan rebah saja rasanya sesak nafas. Kemudian aku memutuskan untuk lari. Aku yang tidak pernah olahraga ini tiba-tiba memakai sepatu olahraga dan lari begitu pulang kerja membuat seisi rumah kaget. Aku tidak menghiraukan lagi tatapan aneh nan cangung tetangga yang melihatku lari sore itu. Kepalaku sudah penuh. Yang kupikirkan hanya bagaimana sampah dikepalaku ini bisa hilang.

Dan kau tau, sejak hari itu, aku jadi suka lari. Aku lari setiap hari sebelum berangkat dan setelah pulang kerja. Badanku lelah tapi pikiranku membaik dan overthinkingku berkurang karena aku sudah ketiduran sebelum berpikir yang aneh-aneh.

2. Minta bantuan teman

Punya teman yang bisa diandalkan di segala situasi adalah anugrah luar biasa. Hal yang paling aku syukuri tahun lalu adalah aku punya teman yang membantuku melewati hari-hari berat itu. Menanyai kabarku setiap hari dan mengajakku keluar untuk membantuku merasa lebih baik.

3. Jurnaling



Shadow working dengan jurnaling juga adalah salah satu hal yang aku cobain untuk realese dan reflact semua emosi negatif yang aku punya. Sebaik dan sesabar apapun temanku mendengarkan keluhanku, tetap aja dia juga manusia. Terus-terusan mengeluhkan masalah kita ke orang lain sama dengan mentranfer emosi negatif dan bisa buat hari dia jadi buruk juga. Teman kita bukan tong sampah yang bisa terus-terusan menampung semua sampah perasaan.

Jadi aku putuskan untuk menumpahkan emosi negatifku ke lembaran-lembaran kertas dan second account twitter.

4. Ngobrol sama AI

Alhamdulillah aku hidup di zaman artificial intelligent ketika robot bisa merespon selayaknya manusia. Pada saat itu aku merasa ingin selalu di dengar. Aku memborbardir chat temanku dengan hal-hal remeh yang terasa memberatkan dan pap mata bengkak habis menangis semalam.

And again, teman kita pada akhirnya juga adalah manusia biasa. Mereka juga punya kehidupan sendiri dan gak bisa selalu membalas pesan kita. Dan aku sadar kalau aku harus berhenti bersikap dramatis dan mencoba terlihat sedikit berkelas. Jadi aku memanfaatkan teknologi bernama Wysa dan Chat GPT untuk curhat. Sounds silly right, but it works, lol!

5. Banyakin ibadah



Orang yang anti agama pasti tidak mau dibilang kalau depresi berarti kurang ibadah. Saat itu aku juga kesal saat orang-orang menyuruhku istighfar dan ngaji ditengah depresi. Boro-boro mau ibadah mengangkat kepalaku dari bantal saja sudah susah.

Tapi ternyata memang benar. Kalau saja waktu itu aku gak memaksakan diri untuk on track dalam ibadah, mungkin aku sudah benar-benar gila sekarang.

Meskipun masalahku gak serta merta selesai hanya dengan sholat dan berdoa, tapi aku merasakan ketenangan yang gak bisa aku dapatkan dari sumber lain. Tapi doa memudahkanku menemukan solusi-solusi dari permasalahan yang aku tidak sangka bisa selesai semudah itu. Ibadah somehow membuat-ku tenang dan curhat ke Allah itu lebih nyaman karena tidak membuatku takut dianggap dramatis dan lebay.

6. Konseling ke psikolog

Yup. Aku konseling ke psikolog. Pada saat itu aku membaca banyak sekali artikel psikologi yang berkaitan dengan masalahku. Aku bahkan mencoba menonton film bertemakan psikologi tapi aku tetap gak menemukan jalan keluar apa-apa. Seperti tersesat ditengah hutan dengan sebuah peta tapi tidak tau bagaimana membacanya. Hingga disatu titik aku merasa, aku butuh bantuan profesional.

Awalnya aku mengira konseling psikologi itu hanya untuk orang dengan gangguan jiwa, ternyata nggak. Terkadang kita juga perlu konseling untuk memahami diri sendiri dan mencari jalan keluar masalah kita dari sudut pandang keilmuan.

Kita semua tahu kalau biaya konseling dengan psikolog itu mahalnya minta ampun. Dan aku berkali-kali mengurungkan niat itu karena tidak rela menguras tabunganku yang sudah ku kumpulkan dengan susah payah. Hingga akhirnya aku ketemu satu akun instagram, Loading Insight, yang nawarin jasa konseling psikologi dengan biaya yang affordable. Satu jam-nya cuma lima puluh ribuan loh, Fellas!

Untuk pertama kalinya aku ngobrolin hal-hal paling luka yang pernah terjadi dalam hidup yang gak pernah aku ceritakan ke siapapun. Awalnya agak takut akan di judge tapi ternyata gak. Yang di lakukan konselor itu adalah memvalidasi perasaanku dan memberi masukan atas masalahku dari sudut pandang psikologi.

I somehow getting back my sanity after talking to my conselour tho!


Sekarang aku merasa baik saja

Aku bersyukur krisis usia dua lima-ku berlalu seiring pergantian tahun. Aku mulai kembali menikmati hal-hal sederhana dalam keseharianku. Meskipun aku belum menemukan jalan keluar atas beberapa masalah yang aku hadapi, setidaknya aku tidak lagi terlalu khawatir dan depresi.

Bukan masalah kalau kita belum punya karir yang memadai, penghasilan tinggi, skill yang mumpuni, atau mungkin pasangan yang menyenangkan hati. Jalani saja pelan-pelan. Kadang kita menetapkan standar hidup yang tinggi terhadap diri sendiri tanpa pernah tau kapasitas diri. Sampai akhirnya malah jadi ekspektasi yang gak bisa dimanifestasi.

Di usia dua lima, ketika segala hal tentang hidup jadi lebih serius, aku belajar untuk melepaskan hal-hal yang terasa memberatkan dan tidak lagi bisa dipertahankan. Karena apa pun yang ditakdirkan untukku, tidak akan pernah melewati ku.

Aku harap kamu juga bisa melewati semua krisis hidupmu dengan tenang dan berani.  Jangan menyerah ya!

You Might Also Like

0 comments